Kebijakan Pidana Terhadap Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi, Putusan, Masyarakat Hukum Adat
DOI:
https://doi.org/10.58705/jpm.v2i1.88Abstrak
Kajian ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 95/PUU-XII/2014 yang menyatakan menerima konstitusionalitas bersyarat Pasal 50(3)(e) dan (i) UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999. ketika pasal tersebut dinyatakan konstitusional sepanjang dipahami oleh semua orang, dan dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa hak atau izin dari instansi yang berwenang, kecuali bagi orang yang pernah tinggal di dalam Hutan turun-temurun dan tidak untuk tujuan komersial dan ternak merumput di kawasan hutan yang ditunjuk secara resmi, kecuali orang-orang yang telah tinggal di hutan secara turun-temurun dan tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial. Meski Mahkamah Konstitusi hanya menerima redaksi alinea, menolak redaksi beberapa alinea undang-undang lainnya dan menilai alinea Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penghapusan Deforestasi tidak dapat diterima, Mahkamah Konstitusi menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat yang mendiami kawasan hutan. Mahkamah Konstitusi Federal berpendapat bahwa orang yang memiliki hubungan yang sangat kuat dengan hutan harus dibebaskan dari ketentuan pidana.
Unduhan
Diterbitkan
Cara Mengutip
Lisensi
Hak Cipta (c) 2023 Jurnal Penelitian Multidisiplin
Artikel ini berlisensi Creative Commons Attribution 4.0 International License.